Selasa, 02 Desember 2014

Asuhan keperawatan klien dengan kusta


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius.
Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia Tenggara, dengan angka kejadian di atas 10 per 1.000. hal ini disebabkan meningkatnya mobilitas penduduk, misalnya imigrasi, pengungsi dan sebagainya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus baru menunjukkan penurunan. Di India jumlah kasus kira-kira 4 juta, pada tahun 1961 jumlah penderita kusta sebesar 2,5 juta, pada tahun 1971 jumlah penderita 3,2 juta dan tahun 1981 jumlah penderita 3,9 juta. Kusta juga banyak ditemykan di Amerika Tengah dan Selatan dengan jumlah kasus yang tercatat lebih dari 5.000 kasus.
Selama tahun 2000 di Indonesia ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002. Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002.
Permasalahan penyakit kusta bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks bukan hanya dari segi medis tetapi juga menyangkut masalah sosial ekonomi, budaya dan ketahanan Nasional. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan rasa takut, malu dan isolasi sosial berkaitan dengan penyakit ini. Laporan tentang kusta lebih kecil daripada sebenarnya, dan beberapa negara enggan untuk melaporkan angka kejadian penderita kusta sehingga jumlah yang sebenarnya tidak diketahui. Melihat besarnya manifestasi penyakit ini maka perlu dilakukan suatu langkah penanggulangan penyakit tersebut. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.
Berdasarkan dari fenomena diatas maka kami mengangkat masalah upaya penanggulangan penyakit kusta sebagai judul makalah dengan harapan dapat lebih memahami penyakit kusta dan penanggulangannya.
B.  Tujuan
1.      Mengetahui Anatomi Fisiologi kulit
2.      Mengetahui Definisi kusta
3.      Mengetahui Etiologi kusta
4.      Mengetahui Manifestasi klinis kusta
5.      Mengetahui Patofisiologi kusta
6.      Mengetahui Klasifikasi kusta
7.      Mengetahui Pemeriksaan penunjang kusta
8.      Mengetahui Pencegahan kusta kusta
9.      Mengetahui Terapi medik kusta
10.  Mengetahui asuhan kepeawatan untuk penyakit kusta
BAB II
PEMBAHASAN


A.  Anatomi Fisiologi kulit
Sistem integument merupakan bagian dari tubuh manusia, khususnya organ yang menutupi permukaan atau bagian luar tubuh manusia yang sering disebut kulit. Kulit merupakan organ yang paling besar pada tubuh manusia dan terletak paling luar sehingga mudah mengalami trauma atau terkontaminasi oleh mikroorganisme serta mudah dilihat individu maupun orang lain. Kulit merupakan jalinan pembuluh darah, saraf, dan kelenjar yang tidak berujung, semuanya memiliki potensi untuk terserang penyakit. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% dari berat badan. Secara mikroskopis, struktur kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis.
1.    Lapisan epidermis
Lapisan epidermis adalah lapisan paling atas dari kulit serta tidak mengandung pembuluh darah dan saraf. Tebalnya di kulit biasa 0, 3 mm, Ditelapak tangan dan kaki tebalnya 1.5 mm. Waktu yang diperlukan dari lapisan yang paling bawah menjadi paling luar 30 hari.
Bagian-bagian lapisan epidermis:
a.       Stratum corneum
Adalah lapisan tanduk yang berada paling luar, terdiri atas beberapa lapis sel gepeng yang mati dan tidak berinti dan mengandung zat keratin.
b.       Stratum lucidum
Adalah lapisan yang terdapat langsung dibawah laisan korneum, merupakan lapisan selgepeng tanpa inti dengan  protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin.
c.       Stratum Granulosum
      Merupakan lapisan epidermis yang mempunyai fungsi penting dalam pembentukan protein dan ikatan kimia stratum korneum.  selnya gepeng,berinti dan protoplasma berbutir besar.
d.      Stratum Spinosum
        Adalah lapisan yang mengalami prose mitosis. Protoplasmanya jernih karena mengandung glikogen dan inti selnya di tengah-tengah.  Sel bentuk dan besarnya berbeda karena proses mitosis.
e.        Stratum basale
       Merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang berbaris seperti pagar (palisade). Didalam lapisan ini terdapat melanosit, sel pembentuk melanin (melanosit) merupakan sel-sel berwarna muda mengandung pigmen-pigmen melanosom.

2.    Lapisan dermis
     Adalah lapisan kulit di bawah epidermis yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.         Pars Papilaris (Stratum Papilar)
Yaitu bagian yang menonjol ke epidermis. Bagian ini berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah yang menyokong dan member nutrisi pada epidermis. Lapisan papila hampir tidak mengandung jaringan ikat, memiliki serabut kolagen yang tipis. Lapisan ini dikenal dengan lapisan subepitel karena dibawah lapisan epitel epidermis. Lapisan ini disebut juga lapisan papila karena terdapat papila (kecil, seperti jari-jari) yang berikatan dengan epidermis. Kebanyakan papila mengandung kapiler untuk memberi nutrisi pada epidermis. Papila dengan serabut dobel ditelapak tangan dan kaki membentuk sidik jari.
a)      Pars Retikularis (Stratum Retikularis),
Lapisan retikuler terdiri dari jaringan ikat, memiliki serabut kolagen yang kasar dan berkas serabut yang saling bersilangan membentuk seperti jaring. Garis-garis serabut tersebut membentuk Cleavage yang penting dalam proses pembedahan. Sayatan bedah yang memotong garis cleavage lebih sulit sembuh daripada yang paralel dengan garis ini. Lapisan reticular sangat banyak mengandung pembuluh darah, syaraf, ujung-ujung syaraf bebas, sel-sel adiposa(lemak), kelenjar minyak dan akar rambut, reseptor untuk tekanan dalam. Bagian terbawah lapisan ini mengandung serabut otot polos (khususnya didada dan putting susu genital) dan folikel rambut.
Disekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit, histiosit, sel mast, dan leukosit yang melindungi tubuh dari infeksi dan invasi benda-benda asing. di samping itu, di dalam lapisan dermis juga terdapat akar rambut dan kelenjar keringat.
Ada dua macam kelenjar keringat, yaitu:
1.      Kelenjar ekrin, yang berukuran kecil, terletak di bagian dangkal dermis dengan secret yang encer. Kelenjat ini langsung bermuara di permukaan kulit. kelenjat ini terdapat di seluruh permukaan kulit, terbanyak pada bagian dahi, tangan, kaki, dan aksila.
2.      kelenjar apokrin, yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental. kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenargi, terdapat di aksila, aerola mammae, pubis, labia minora dan saluran telinga luar.
Manusia memiliki dua jenis rambut, yaitu:
a.       Rambut lanugo, denagn ciri pendek, tidak berpigmen, halus, dan akarnya di dalam dermis. Contohnya, rambut yang ada di pipi, rambut yang ada pada tubuh bayi (biasnya akan hilang setelah lahir).
b.      Rambut terminal, dengan cirri lebih panjang, lebih kasar, berpigmen, berkumpul di daerah tertentu, dan akarnya di dalam subkutis. rambut ini memiliki siklus pertumbuhan yang lebih cepat, kurang lebih 1 cm per bulan (mis, rambut kepala).

3.    Lapisan subkutis
Lapisan hypodermis atau lapisan subkutan terdiri dari jaringan adipose, banyak mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf juga terdapat gulungan kelenjar keringat dan dasar dari folikel rambut. Tidak seperti epidermis dan dermis, batas dermis dengan lapisan ini tidak jelas.Pada bagian yang banyak bergerak jaringan hipodermis kurang,  pada bagian yan melapisi otot atau tulang mengandung anyaman serabut yang kuat. Pada area tertentu yng berfungsi sebagai bantalan (payudara dan tumit) terdapat lapisan sel-sel lemak yang tipis. Distribusi lemak pada lapisan ini banyak berperan dalam pembentukan bentuk tubuh terutama pada wanita.

Fungi kulit
Kulit memiliki banyak fungsi diantaranya dalah:
1.        Menutupi dan melindungi organ-organ dibawahnya
2.        Melindungi tubuh dari masuknya mikroorganisme dan benda asing yang dapat membahayakan tubuh. Fungsi ini merupakan fungsi perlindungan pasif. Selain fungsi perlindungan pasif, lapisan dermis berperan dalam proses menyiapkan limfosit yang di produksi oleh sumsum tulang sebelum benar-benar dipakai untuk menyerang berbagai mikroorganisme penyebab penyakit. Peran kulit dalam hal ini merupakan peran aktif dalam perlindungan tubuh.
3.        Pengaturan suhu. Kulit, jaringan sub kutan dan lemak merupakan penyekat panas dari tubuh. Lemak menyalurkan panas sepertiga kecepatan jaringan lain atau dalam kata lain lemak menghambat pengeluaran panas dari tubuh. . Kecepatan aliran darah ke kulit menyebabkan konduksi panas sangat efisien. Konduksi panas ke kulit diatur oleh sistem syaraf simpatis. Syaraf simpatis mengatur kecepatan lairan darah dengan menstimulasi vaso konstriksi dan vaso dilatasi.
4.        Ekskresi: Melalui perspirasi/berkeringat, membuang sejumah kecil urea.
5.        Sintesis: Konversi 7-dehydrocholesterol menjadi Vit D3(cholecalciferol) dengan bantuan sinar U.V. Kekurangan UV dan Vit D mengakibatkan absorpsi Ca dari intestinal ke darah menurun.
6.        Sensori persepsi: mengandung reseptor terhadap panas, dingin, nyeri, sentuhan /raba, tekanan. Juga mengandung ujung-ujung syaraf bebas yang berfungsi sebagai homeostatis.

B.  Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)
Morbus Hansen (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI, 2000)
Penyakit  Morbus Hansen adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya (Departeman Kesehatan, Dit. Jen PPM & PL, 2002)



C.  Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.

D.  Manifestasi klinis
Menurut WHO (1995), seseorang didiagnosis menderita penyakit kusta apabila terdapat satu dari tanda kardinal berikut :
1.      Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal ataupun multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul atau nodul.
2.      BTA Positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan periksa ulang setiap tiga bulan sampai ditegakan diagnosis kusta atau penyakit lain.
Ada tiga tanda kardinal :
a)      Lesi kulit yang anastesi
b)      Penebalan saraf perifer
c)      Ditemukan M. Leprae (bakteriologis positif)

E.  Patofisiologi
Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen  diawali dari  kuman Mycobacterium Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta mempunyai sifat tahan asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan.
Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindungi di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang makrofag  bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor)  yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional.  Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi seperti sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati rasa (anestasi). Kerusakan fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau lumpuhnya otot kaki atau tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok. Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya  gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si penderita cacat seumur hidup.
Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi (semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul (benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.
Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan  pada otot mata  mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan.

F.   Klasifikasi
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

G. Pemeriksaan penunjang
     Pemeriksaan Bakteriologis
     Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1.         Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2.         Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain.
3.         Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4.         Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
a)    Cuping telinga kiri atau kanan
b)   Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5.          Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a)    Tidak menyenangkan pasien
b)   Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c)    Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
d)   Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6.         Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a)    Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b)   Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta
c)    Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka kuman resisten terhadap obat
d)   Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7.         Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett
8.         Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:

0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.

H.  Pencegahan kusta
1.      Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a.    Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006)
      b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum  ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda  pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).

2.      Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder  dapat dilakukan dengan :
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

3.      Pencegahan tertier
a.       Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
a)      Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
b)      Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.
b.      Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
a)      Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur.
b)      Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
c)      Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
d)     Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan.
e)      Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.


I.     Terapi medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
1.    Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.


2.    Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
3.    Dosis untuk anak
Klofazimin:
Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB
4.    Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
5.    Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.










BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a.      Biodat
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b.      Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh
c.       Riwayat kesehatan masa lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d.      Riwayat kesehatan keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e.       Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
f.       Pola aktivitas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan


g.      Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.
Sistem persarafan :
a)   Kerusakan fungsi sensorik, Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
b)   Kerusakan fungsi motorik Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
c)   Kerusakan fungsi otonom,Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
Sistem muskuloskeletal :
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
Sistem integumen :
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

B. Diagnosa keperawatan
1.    Integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
2.    Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan .
3.    Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik.
4.    Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.

C.  Intervensi
Diagnosa 1
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1.      Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
Rasional: Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional: Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional: Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional: Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan

Diagnosa 2
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang
Kriteria hasil: Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
Intervensi:
1.       Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional: Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
2.       Observasi tanda-tanda vital
Rasional: Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
3.       Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional: Dapat mengurangi rasa nyeri
4.       Atur posisi senyaman mungkin
Rasional: Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
5.       kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional: Menghilangkan rasa nyeri

Diagnosa 3
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan
Kriteria hasil:
1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari,
2) Kekuatan otot penuh
Intervensi:
1.      Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
2.    Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
Rasional: Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
3.    Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif
Rasional: Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi
4.    Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat
Rasional: Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
5.    Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
Rasional: Menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan

Diagnosa 4
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat
Kriteria hasil:
1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi:
1.      Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal
2.      Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan
3.      Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah
Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
4.      Berikan penguatan positif
Rasional: Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif
5.      Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien











BAB IV
PENUTUP


A.  Kesimpulan
       Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae.
Kusta dibagi dalam 2 bentuk,yaitu :
a.       kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
b.      kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
       Micobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluller, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.
       Micobakterium leprae masuk kedalam tubuh manusia, jika orang tersebut memiliki respon imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun jika respon imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada lepromatosa.
       Manifestasi klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
       Penularan penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui melalui pintu keluar kuman kusta yaitu: melalui sekret hidung dan kontak langsung dengan kulit penderita. Selain itu ada faktor-faktor lain yang berperan dalam penularan ini diantaranya: usia, jenis kelamin, ras, kesadaran sosial dan lingkungan.
       Untuk pencegahan penyakit kusta terbagi dalam 3 tahapan yaitu : pencegahan secara primer, sekunder dan tersier.
       Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu dilakukan adalah melakukan pengkajian, pemeriksaan fisik, menentukan diagnosa keperawatan, kemudian memberikan tindakan perawatan yang komprehensip.

B.  Saran
Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai  penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan penyuluhan tentang, cara menghindari, mencegah, dan mengetahui gejala dini pada kusta untuk mempermudah pengobatanya.
Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih tergolong tinggi maka perlu diadakanya penelitian tentang penanggulangan penyakit kusta yang efektif





























Daftar pustaka
Graber,Mark A,1998,Buku Saku Kedokteran university of IOWA,EGC,Jakarta
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.
Juall, Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC. Jakarta,
Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta.
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science, Australia
Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta.
http://www.google.com/penyakit kusta
http://www.yahoo.com/asuhan keperawatan kusta
http://www.wikipedia.com/askep kusta