BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang
secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan
testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus
terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham
penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit
kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar
penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat
keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai
di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.
Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang
ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius.
Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika
Tengan dan Asia Tenggara, dengan angka kejadian di atas 10 per 1.000. hal ini
disebabkan meningkatnya mobilitas penduduk, misalnya imigrasi, pengungsi dan
sebagainya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori
pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi
terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru
pada tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan
lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa
proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak
lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus
baru menunjukkan penurunan. Di India jumlah kasus kira-kira 4 juta, pada tahun
1961 jumlah penderita kusta sebesar 2,5 juta, pada tahun 1971 jumlah penderita
3,2 juta dan tahun 1981 jumlah penderita 3,9 juta. Kusta juga banyak ditemykan
di Amerika Tengah dan Selatan dengan jumlah kasus yang tercatat lebih dari
5.000 kasus.
Selama tahun 2000 di Indonesia
ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499
penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716
kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan
75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun
2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002. Di tingkat propinsi, Jawa Timur
paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan
4.391 pada tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah
propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun
2002.
Permasalahan penyakit kusta bila
dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks bukan hanya
dari segi medis tetapi juga menyangkut masalah sosial ekonomi, budaya dan
ketahanan Nasional. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari
penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek
atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah
tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma,
tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan
di lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan rasa takut, malu dan isolasi
sosial berkaitan dengan penyakit ini. Laporan tentang kusta lebih kecil
daripada sebenarnya, dan beberapa negara enggan untuk melaporkan angka kejadian
penderita kusta sehingga jumlah yang sebenarnya tidak diketahui. Melihat
besarnya manifestasi penyakit ini maka perlu dilakukan suatu langkah penanggulangan
penyakit tersebut. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk
mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian
serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah yang dimaksud bukan saja dari
segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan sosial.
Berdasarkan dari fenomena diatas
maka kami mengangkat masalah upaya penanggulangan penyakit kusta sebagai judul makalah
dengan harapan dapat lebih memahami penyakit kusta dan penanggulangannya.
B. Tujuan
1.
Mengetahui Anatomi Fisiologi kulit
2. Mengetahui
Definisi kusta
3. Mengetahui
Etiologi kusta
4. Mengetahui
Manifestasi klinis kusta
5. Mengetahui
Patofisiologi kusta
6. Mengetahui Klasifikasi
kusta
7.
Mengetahui Pemeriksaan penunjang kusta
8. Mengetahui
Pencegahan kusta kusta
9.
Mengetahui Terapi medik kusta
10.
Mengetahui asuhan kepeawatan untuk
penyakit kusta
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi Fisiologi kulit
Sistem
integument merupakan bagian dari tubuh manusia, khususnya organ yang menutupi
permukaan atau bagian luar tubuh manusia yang sering disebut kulit. Kulit
merupakan organ yang paling besar pada tubuh manusia dan terletak paling luar
sehingga mudah mengalami trauma atau terkontaminasi oleh mikroorganisme serta
mudah dilihat individu maupun orang lain. Kulit merupakan jalinan pembuluh
darah, saraf, dan kelenjar yang tidak berujung, semuanya memiliki potensi untuk
terserang penyakit. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat
kira-kira 15% dari berat badan. Secara mikroskopis, struktur kulit terdiri dari
tiga lapisan, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis.
1. Lapisan
epidermis
Lapisan epidermis adalah lapisan
paling atas dari kulit serta tidak mengandung pembuluh darah dan saraf.
Tebalnya di kulit biasa 0, 3 mm, Ditelapak tangan dan kaki tebalnya 1.5 mm.
Waktu yang diperlukan dari lapisan yang paling bawah menjadi paling luar 30
hari.
Bagian-bagian lapisan epidermis:
a.
Stratum corneum
Adalah lapisan tanduk yang berada paling luar, terdiri atas beberapa lapis
sel gepeng yang mati dan tidak berinti dan mengandung zat keratin.
b.
Stratum lucidum
Adalah lapisan yang terdapat langsung dibawah laisan korneum, merupakan
lapisan selgepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi
protein yang disebut eleidin.
c.
Stratum Granulosum
Merupakan lapisan epidermis yang mempunyai
fungsi penting dalam pembentukan protein dan ikatan kimia stratum
korneum. selnya gepeng,berinti dan protoplasma berbutir besar.
d. Stratum
Spinosum
Adalah
lapisan yang mengalami prose mitosis. Protoplasmanya jernih karena mengandung
glikogen dan inti selnya di tengah-tengah. Sel bentuk dan besarnya
berbeda karena proses mitosis.
e. Stratum basale
Merupakan
lapisan epidermis yang paling bawah. Terdiri atas sel-sel berbentuk kubus
(kolumnar) yang berbaris seperti pagar (palisade). Didalam lapisan ini terdapat
melanosit, sel pembentuk melanin (melanosit) merupakan sel-sel berwarna muda
mengandung pigmen-pigmen melanosom.
2.
Lapisan dermis
Adalah
lapisan kulit di bawah epidermis yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Pars Papilaris (Stratum Papilar)
Yaitu bagian yang menonjol ke epidermis. Bagian ini berisi ujung serabut
saraf dan pembuluh darah yang menyokong dan member nutrisi pada epidermis. Lapisan papila hampir tidak mengandung jaringan
ikat, memiliki serabut kolagen yang tipis. Lapisan ini dikenal dengan lapisan
subepitel karena dibawah lapisan epitel epidermis. Lapisan ini disebut juga
lapisan papila karena terdapat papila (kecil, seperti jari-jari) yang berikatan
dengan epidermis. Kebanyakan papila mengandung kapiler untuk memberi nutrisi
pada epidermis. Papila dengan serabut dobel ditelapak tangan dan kaki membentuk
sidik jari.
a)
Pars Retikularis (Stratum Retikularis),
Lapisan retikuler terdiri dari jaringan ikat, memiliki serabut kolagen yang
kasar dan berkas serabut yang saling bersilangan membentuk seperti jaring.
Garis-garis serabut tersebut membentuk Cleavage yang penting dalam proses
pembedahan. Sayatan bedah yang memotong garis cleavage lebih sulit sembuh
daripada yang paralel dengan garis ini. Lapisan reticular sangat banyak
mengandung pembuluh darah, syaraf, ujung-ujung syaraf bebas, sel-sel
adiposa(lemak), kelenjar minyak dan akar rambut, reseptor untuk tekanan dalam.
Bagian terbawah lapisan ini mengandung serabut otot polos (khususnya didada dan
putting susu genital) dan folikel rambut.
Disekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit, histiosit, sel mast,
dan leukosit yang melindungi tubuh dari infeksi dan invasi benda-benda asing.
di samping itu, di dalam lapisan dermis juga terdapat akar rambut dan kelenjar
keringat.
Ada dua macam kelenjar keringat, yaitu:
1.
Kelenjar ekrin, yang berukuran kecil, terletak di
bagian dangkal dermis dengan secret yang encer. Kelenjat ini langsung bermuara di
permukaan kulit. kelenjat ini terdapat di seluruh permukaan kulit, terbanyak
pada bagian dahi, tangan, kaki, dan aksila.
2.
kelenjar apokrin, yang lebih besar, terletak lebih
dalam dan sekretnya lebih kental. kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf
adrenargi, terdapat di aksila, aerola mammae, pubis, labia minora dan saluran
telinga luar.
Manusia
memiliki dua jenis rambut, yaitu:
a.
Rambut lanugo, denagn ciri pendek, tidak berpigmen,
halus, dan akarnya di dalam dermis. Contohnya, rambut yang ada di pipi, rambut
yang ada pada tubuh bayi (biasnya akan hilang setelah lahir).
b.
Rambut terminal, dengan cirri lebih panjang, lebih
kasar, berpigmen, berkumpul di daerah tertentu, dan akarnya di dalam subkutis.
rambut ini memiliki siklus pertumbuhan yang lebih cepat, kurang lebih 1 cm per
bulan (mis, rambut kepala).
3.
Lapisan subkutis
Lapisan hypodermis atau lapisan subkutan terdiri dari
jaringan adipose, banyak mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf
juga terdapat gulungan kelenjar keringat dan dasar dari folikel rambut. Tidak
seperti epidermis dan dermis, batas dermis dengan lapisan ini tidak jelas.Pada
bagian yang banyak bergerak jaringan hipodermis kurang, pada bagian yan
melapisi otot atau tulang mengandung anyaman serabut yang kuat. Pada area tertentu
yng berfungsi sebagai bantalan (payudara dan tumit) terdapat lapisan sel-sel
lemak yang tipis. Distribusi lemak pada lapisan ini banyak berperan dalam
pembentukan bentuk tubuh terutama pada wanita.
Fungi kulit
Kulit memiliki banyak fungsi diantaranya dalah:
1.
Menutupi dan melindungi organ-organ dibawahnya
2.
Melindungi tubuh dari masuknya mikroorganisme dan
benda asing yang dapat membahayakan tubuh. Fungsi ini merupakan fungsi
perlindungan pasif. Selain fungsi perlindungan pasif, lapisan dermis berperan
dalam proses menyiapkan limfosit yang di produksi oleh sumsum tulang sebelum
benar-benar dipakai untuk menyerang berbagai mikroorganisme penyebab penyakit.
Peran kulit dalam hal ini merupakan peran aktif dalam perlindungan tubuh.
3.
Pengaturan suhu. Kulit, jaringan sub kutan dan lemak
merupakan penyekat panas dari tubuh. Lemak menyalurkan panas sepertiga
kecepatan jaringan lain atau dalam kata lain lemak menghambat pengeluaran panas
dari tubuh. . Kecepatan aliran darah ke kulit menyebabkan konduksi panas sangat
efisien. Konduksi panas ke kulit diatur oleh sistem syaraf simpatis. Syaraf
simpatis mengatur kecepatan lairan darah dengan menstimulasi vaso konstriksi
dan vaso dilatasi.
4.
Ekskresi: Melalui perspirasi/berkeringat, membuang
sejumah kecil urea.
5.
Sintesis: Konversi 7-dehydrocholesterol menjadi Vit
D3(cholecalciferol) dengan bantuan sinar U.V. Kekurangan UV dan Vit D
mengakibatkan absorpsi Ca dari intestinal ke darah menurun.
6.
Sensori persepsi: mengandung reseptor terhadap panas,
dingin, nyeri, sentuhan /raba, tekanan. Juga mengandung ujung-ujung syaraf
bebas yang berfungsi sebagai homeostatis.
B. Definisi
Kusta adalah penyakit yang
menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang
syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)
Kusta merupakan penyakit kronik
yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit infeksi
kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat,
yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa
mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan
testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada
umunya mempengaruhi ulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi
klinis yang luas ( COC, 2003)
Morbus Hansen (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI,
2000)
Penyakit Morbus Hansen adalah penyakit menular yang menahun dan
disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi,
kulit dan jaringan tubuh lainnya (Departeman Kesehatan, Dit. Jen PPM & PL,
2002)
C. Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan
basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer,
kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum
tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae
12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya
berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
D. Manifestasi klinis
Menurut WHO
(1995), seseorang didiagnosis menderita penyakit kusta apabila terdapat satu
dari tanda kardinal berikut :
1.
Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan
sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal ataupun multipel, biasanya
hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi
dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul atau nodul.
2.
BTA Positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari
kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai
dan periksa ulang setiap tiga bulan sampai ditegakan diagnosis kusta atau
penyakit lain.
Ada tiga tanda kardinal :
a)
Lesi kulit yang anastesi
b)
Penebalan saraf perifer
c)
Ditemukan M. Leprae (bakteriologis positif)
E. Patofisiologi
Mekanisme penularan penyakit Morbus
Hansen diawali dari kuman Mycobacterium Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta mempunyai sifat
tahan asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang saraf tepi,
yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian
atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan
saraf pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat
bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita
kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan.
Kerusakan saraf pada pasien Morbus
Hansen diakibatkan M.Leprae yang memiliki bagian G domain of
extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel schwaan
melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan
mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag.
Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang
melindungi di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang makrofag
bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor)
yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau
nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan
jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann
merupakan APC non professional. Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi seperti sensorik, motorik dan otonom.
Serangan terhadap fungsi sensorik akan menyebabkan terjadinya luka pada tangan
atau kaki, yang selanjutnya akan mati rasa (anestasi). Kerusakan fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau lumpuhnya otot kaki atau tangan,
jari-jari tangan atau kaki menjadi
bengkok. Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya gangguan pada
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit
menjadi kering, menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan
membuat si penderita cacat seumur hidup.
Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi
(semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul
(benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas
jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit
kering dan alopesia.
Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia
akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada
tubulus seminiferus testis. Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten
dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah
sperma yang dihasilkan oleh testis.
Pada kornea mata akan terjadi
kelumpuhan pada otot mata mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan
benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan
mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada
alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis
palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara
sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan.
F.
Klasifikasi
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah
lesi bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas
jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central
healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan
saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal.
Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat
terhadap kuman kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa
makula atau plakat yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi
dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau
skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan
biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
sebagai bentuk dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat
berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi
kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi
hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya
sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul
dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa
nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak
normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris,
permukaan halus, lebih eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada
stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas,
yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan
di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan,
dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang
progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis,
keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang
selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan
gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut
saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan
pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1.
Sediaan diambil
dari kelainan kulit yang paling aktif.
2.
Kulit muka
sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi
ditempat lain.
3.
Pemeriksaan
ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi
kulit yang baru timbul.
4.
Lokasi
pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5.
Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a)
Tidak
menyenangkan pasien
b)
Positif palsu
karena ada mikobakterium lain
c)
Tidak pernah
ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus
kulit negatif.
d)
Pada
pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif
dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6.
Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a)
Semua orang
yang dicurigai menderita kusta
b)
Semua pasien
baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta
c)
Semua pasien
kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka kuman resisten terhadap
obat
d)
Semua pasien MB
setiap 1 tahun sekali
7.
Pemerikaan
bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett
8.
Cara menghitung
BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan
setengah atau seperempat lingkaran.
Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif
kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan
mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma
RIDLEY sebagai berikut:
0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk
utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman,
mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap
obat.
H. Pencegahan kusta
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena
penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat
dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu
dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas
kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan
dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran
penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan
masyarakat (Depkes RI, 2006)
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum
ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian
imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996
didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan
perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat
memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan
ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa
negara memberikan hasil berbeda
pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan
dengan :
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug
therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena
tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI,
2006).
3.
Pencegahan tertier
a.
Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk
pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas
(Depkes RI, 2006) :
a)
Upaya pencegahan cacat primer meliputi
penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan
reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
b)
Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi
perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau
kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.
b.
Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian
diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara
fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai
dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat
secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi
sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik
(Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
a) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah
terjadinya kontraktur.
b) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak
mendapat tekanan yang berlebihan.
c) Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
d) Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal
terbatas pada tangan.
e) Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
I. Terapi medik
Tujuan utama program
pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya
cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe
yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi
Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai
tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang
semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di
Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
1.
Tipe PB ( PAUSE
BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang
dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum
didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan
setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun
secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT
tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi
dalam pengawasan.
2.
Tipe MB ( MULTI
BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang
dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin
50 mg /hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah
selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih
aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
3.
Dosis untuk
anak
Klofazimin:
Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg
BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB
4.
Pengobatan MDT
terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT
terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup
diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100
mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi
diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
5.
Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang
tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO,
sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis
dari yang seharusnya.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Biodat
Umur memberikan petunjuk mengenai
dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya
berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan
tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari
golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien dengan morbus
hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel,
neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita
(demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh
c.
Riwayat kesehatan masa lalu
Pada klien dengan morbus hansen
reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres,
sesudah mendapat imunisasi.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit
menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae)
yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e.
Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus
hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa
penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan
menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena
penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
f.
Pola aktivitas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu
karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena
kondisinya yang tidak memungkinkan
g. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam
keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II
morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.Sistem
penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan,
dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada
infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan
pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.Sistem
pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
Sistem persarafan :
a) Kerusakan fungsi
sensorik, Kelainan fungsi sensorik ini
menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak
tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan
kurang/ hilangnya reflek kedip.
b) Kerusakan fungsi
motorik Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur),
bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).
c) Kerusakan fungsi
otonom,Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya
dapat pecah-pecah.
Sistem muskuloskeletal :
Adanya gangguan fungsi saraf tepi
motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan
akan atropi.
Sistem integumen :
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan),
infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom
terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering
didapati kerontokan jika terdapat bercak.
B. Diagnosa
keperawatan
1.
Integritas
kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
2.
Gangguan rasa
nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan .
3.
Intoleransi
aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik.
4.
Gangguan konsep
diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi
tubuh.
C. Intervensi
Diagnosa 1
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti
dan berangsur-angsur sembuh.
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi
sekitar luka
Rasional: Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan
atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional: Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan
jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan
sekitar
Rasional: Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi
terjadinya komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional: Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan
Diagnosa 2
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti
dan berangsur-angsur hilang
Kriteria hasil: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan
beraangsur-angsur hilang
Intervensi:
1.
Observasi
lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional: Memberikan informasi
untuk membantu dalam memberikan intervensi.
2.
Observasi
tanda-tanda vital
Rasional: Untuk mengetahui
perkembangan atau keadaan pasien
3.
Ajarkan dan
anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional: Dapat mengurangi rasa
nyeri
4.
Atur posisi
senyaman mungkin
Rasional: Posisi yang nyaman
dapat menurunkan rasa nyeri
5.
kolaborasi
untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional: Menghilangkan rasa
nyeri
Diagnosa 3
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat
teratasi dan aktivitas dapat dilakukan
Kriteria hasil:
1) Pasien dapat melakukan
aktivitas sehari-hari,
2) Kekuatan otot penuh
Intervensi:
1.
Pertahankan
posisi tubuh yang nyaman
Rasional: Meningkatkan posisi
fungsional pada ekstremitas
2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
Rasional: Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan
pasif kemudian aktif
Rasional: Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan
pemeliharaan fungsi otot/ sendi
4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan
periode istirahat
Rasional: Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada
latihan
Rasional: Menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan
pasien dan memberikan terapi lebih konstan
Diagnosa 4
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara
optimal dan konsep diri meningkat
Kriteria hasil:
1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi:
1.
Kaji makna
perubahan pada pasien
Rasional: Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini
memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal
2.
Terima dan akui
ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik
diri.
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang
terjadi membantu perbaikan
3.
Berikan harapan
dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah
Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
4.
Berikan
penguatan positif
Rasional: Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping
positif
5.
Berikan
kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang
lebih membantu pasien
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kusta adalah penyakit yang
menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae.
Kusta dibagi dalam 2 bentuk,yaitu :
a. kusta bentuk
kering (tipe tuberkuloid)
b. kusta bentuk
basah (tipe lepromatosa)
Micobakterium leprae merupakan
basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluller, menyerang
saraf perifer, kulit dan organ
lain seperti
mukosa saluran napas bagian atas, hati, sumsum
tulang kecuali
susunan saraf pusat.
Micobakterium leprae masuk
kedalam tubuh manusia, jika orang
tersebut memiliki respon imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah
pada tuberkuloid, namun jika respon imunitas dari tubuh orang tersebut rendah
maka kusta akan lebih mengarah pada lepromatosa.
Manifestasi klinik dari
penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Penularan penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui melalui pintu
keluar kuman kusta yaitu: melalui sekret hidung dan kontak langsung dengan
kulit penderita. Selain itu ada faktor-faktor lain yang berperan dalam
penularan ini diantaranya: usia, jenis kelamin, ras, kesadaran sosial dan
lingkungan.
Untuk pencegahan penyakit kusta terbagi dalam 3 tahapan yaitu : pencegahan
secara primer, sekunder dan tersier.
Dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien kusta yang perlu dilakukan adalah melakukan
pengkajian, pemeriksaan fisik, menentukan
diagnosa keperawatan, kemudian memberikan tindakan perawatan yang komprehensip.
B. Saran
Untuk menanggulangi penyebaran
penyakit kusta, hendaknya pemerintah mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai penyembuhan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien
kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden
penyakit.
Hendaknya masyarakat yang tinggal
didaerah yang endemi akan kusta diberikan penyuluhan tentang, cara menghindari,
mencegah, dan mengetahui gejala dini pada kusta untuk mempermudah pengobatanya.
Karena di dunia kasus penderita
kusta juga masih tergolong tinggi maka perlu diadakanya penelitian tentang
penanggulangan penyakit kusta yang efektif
Daftar pustaka
Graber,Mark A,1998,Buku Saku Kedokteran university of IOWA,EGC,Jakarta
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita
Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.
Juall, Lynda,1999 Rencana Asuhan
Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC.
Jakarta,
Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku
Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta.
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin
Infection, Blackwell Science, Australia
Adhi, N.
Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta.
http://www.google.com/penyakit
kusta
http://www.yahoo.com/asuhan
keperawatan kusta
http://www.wikipedia.com/askep
kusta